• Kerajaan Kediri : Strategi Perang Zaman Kerajaan Kuno di Nusantara

     

    Kerajaan Kediri : Strategi Perang Zaman Kerajaan Kuno di Nusantara



    Sinergitas Tentara dan Rakyat

    Pada akhir tahun 1948, sampai pertengahan tahun 1949, Jendral Sudirman menerapkan taktik perang gerilya, menembus hutan rimba di perbukitan Gunung Wilis bagian timur atau wilayah Kediri. Perjuangan jenderal Sudirman itu didampingi para prajurit dan rakyat yang sangat setia menjaga kedaulatan wilayah Indonesia. Peristiwa bersejarah tersebut sesuai dengan slogan TNI masa kini, yaitu “TNI Kuat Bersama Rakyat”.

    Sinergitas tentara dan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan itu, mirip dengan Kerajaan Kaḍiri abad ke 12 ketika menjaga kedaulatan wilayahnya. Saat itu, Kerajaan Kaḍiri memang lebih memusatkan perhatian pada sistem pertahanan. Hal ini masih berhubungan dengan terjadinya peperangan secara terus menerus akibat peristiwa pembagian kekuasaan Raja Airlangga atas Jenggala dan Panjalu, dalam masa pemerintahan sebelumnya. Permasalahan tersebut tidak dapat meringankan sehingga mengakibatkan gejolak peperangan yang pecah sewaktu-waktu.


    Keadaan Kerajaan Kediri

    Selama ini mungkin menjadi pertanyaan besar, mengapa Kerajaan Kaḍiri memiliki persebaran tinggalan arkeologi di daerah-daerah yang jauh dari wilayah Kediri sekarang. Hal itu disebabkan, Kerajaan Kaḍiri memiliki kekuatan berupa dataran rendah yang secara geografis dikelilingi benteng-benteng alam berupa pegunungan. Mulai dari Gunung Wilis yang membentang di bagian barat, Gunung Pandan di bagian utara, Pegunungan Anjasmoro, Kawi, dan Kelud di bagian timur, dan Pegunungan Selatan di bagian selatan.

    Dataran rendah Kerajaan Kadiri amat subur akibat abu vulkanik Gunung Kelud, kaya sumber mata air, dan dilalui Sungai Brantas. Di tepi-tepi sungai itu dihuni oleh masyarakat yang disebut thāni atau desa, dan wiṣaya atau kumpulan beberapa thāni. Informasi yang didapat berdasarkan prasasti yang tersebar mulai dari Kabupaten Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, hingga Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Keberadaan masyarakat thāni dan wiṣaya tersebut berperan penting, karena hidup di antara celah-celah lembah, jalur menuju pusat kerajaan. 

    Pengetahuan geopolitik dan geostrategi itu wajib dipahami oleh raja dan pejabat tinggi kerajaan lainnya. Misalnya pejabat tinggi kemiliteran, prajurit, dan semua abdi dalem Kerajaan Kaḍiri yang bertugas menjaga tujuh wilayah. Para raja dan pejabat tinggi kemiliteran dengan gelar rakryan kanuruhan menempatkan beberapa batalyon-batalyon tempur di celah-celah lembah pegunungan jalur masuk menuju pusat kerajaan. Fakta itu tertuang dalam Prasasti Jaring yang berangka tahun 1181 Masehi. Piagam itu menyebutkan adanya kelompok prajurit dengan bendera makasikasir bergambar kerbau, menjangan, lembu, dan gajah. Ada juga yang bergambar macan putih dan macan kumbang. Mereka bertugas menjaga perbatasan di celah tenggara.

    Dalam prasasti dijelaskan, bahwa pejabat militer mengamankan perairan atau sungai disebut dengan Senapati Sarwwajala. Sungai yang dimaksud tidak lain adalah Sungai Brantas, yang merupakan jalur masuk melalui perairan menggunakan perahu-perahu sungai. Sementara itu penjagaan perbatasan di celah barat daya dilakukan oleh batalyon tempur sāmya haji kataṇḍan sakapāt atau raja yang membawa pejabat taṇḍa dari empat penjuru wilayah. Hal ini berdasarkan isi Prasasti Kamulan. Dikisahkan mereka memiliki kelompok prajurit dengan bendera bergambar kerbau, singa, dan nama raja. Mereka pernah menghadapi musuh dalam jumlah besar yang berasal dari timur. 


    Strategi Perang Jawa Kuno

    Dalam naskah Kakawin Sumanasāntaka menceritakan, bahwa sāmya haji merupakan prajurit tangguh dan sangat setia kepada raja. Selain itu, mereka memiliki pengetahuan tentang wyūha atau formasi dan strategi perang. Keberadaan batalyon tempur dengan beberapa kelompok prajurit berbendera makasikasir tersebut tersebar hingga daerah Tulungagung Selatan, seperti tertulis di Prasasti Lawadan. Ketika para panglima perang dan prajurit Kerajaan Kaḍiri tugas melaksanakan menjaga keamanan dan kejuaraan, mereka dibekali pengetahuan beberapa bentuk formasi perang atau dalam bahasa Jawa Kuno disebut wyūha. Dalam Kakawin Bharatayuddha diceritakan terdapat beberapa bentuk formasi. 

    Antara lain, wukir sagara wyūha atau formasi gunung samudra, wajratikshnna atau formasi mirip senjata bajra, garudda wyūha atau formasi garuda, gajamatta wyūha atau formasi gajah mengamuk, cakra wyūha atau formasi roda, makara wyūha atau formasi supit urang, dan beberapa strategi perang lainnya. Sementara itu, dua celah di bagian utara dan timur dijaga oleh kekuatan masyarakat. Mereka sejak lama sudah memiliki kesetiaan kepada para raja Kerajaan Kaḍiri secara turun-temurun dan memiliki jiwa militerisme. Pertahanan dan pengamanan celah utara dalam membendung serangan musuh, dibuktikan pada Prasasti Mātaji. Sementara itu pertahanan dan pengamanan celah timur terlihat di Prasasti Hantang.

    Kitab Kakawin Sumanasāntaka menceritakan ketika terjadi serangan musuh secara mendadak, maka akan dipukul kentongan sebagai tanda bahaya. Mereka yang akan ikut perang akan tetap bersiap-siaga dengan senjata-senjatanya dalam menghadapi musuh, sementara yang tidak ikut pengungsian akan mengungsi di daerah-daerah aman. Ketika terjadi huru-hara peperangan, raja beserta keluarganya berada di tangan prajurit pangalasan atau pasukan pengawal pribadi raja. Para prajurit Pangalasan 

    Kerajaan Kaḍiri telah mampu bertindak dengan cepat dan sangat mengidentifikasi daerah-daerah yang aman untuk mengamankan raja dan keluarganya dari serangan musuh.

     Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pada abad XII Masehi, para raja dari Kerajaan Kaḍiri selalu selamat dari serangan musuh dan dapat kembali ke tahtanya. 

    Mereka sudah mengetahui sistem penanggulangan bencana menghadapi bahaya peperangan yang tersusun secara matang. Kerajaan Kaḍiri akhirnya jatuh pada tahun 1144 Śaka/1222 Masehi, akibat serangan pasukan Ken Angrok dari Tumapel. Perisiwa itu menceritakan pada Kitab Pararaton. Kekalahan tersebut diperkirakan karena bocornya strategi pertahanan dan pengamanan akibat para Bhujangga Śewa-sogata dari Daha mengungsi ke Tumapel. 

    Mereka meninggalkan Kadiri mengalahkan ulah Raja Kaḍiri terakhir bernama Dandang Gendis (Krtajaya) yang memaksa untuk menyembahnya. 

    Sejak itu wilayah Daha yang dahulu menjadi kekuasaan Kerajaan Kaḍiri, menjadi daerah bawahan dari Kerajaan Singhasari. Sistem pertahanan dan keamanan Kerajaan Kaḍiri bukan hanya menggunakan benteng alam berupa deretan pegunungan. Tapi juga diperkuat dengan sinergitas prajurit dan rakyat kerajaan, Widya Nayati menyebutnya benteng jiwa. Sistem tersebut telah mampu menyelamatkan Kerajaan Kaḍiri dalam satu setengah abad lebih dua puluh dua tahun.

    Benteng tersebut berakhir karena penghianatan sekelompok kaum Bhujangga Śewa-sogata yang mengetahui kelemahan-kelemahan dari sistem pertahanan dan keamanan yang telah diciptakan oleh para raja, pejabat tinggi dan pejabat militer kerajaan serta diwariskan secara turun-temurun. Peristiwa bocornya strategi pertahanan Kerajaan Kadiri bisa menjadi pelajaran pada masa sekarang. Pertahanan militer berupa pasukan dan perang piranti lainnya, unsur yang tak kalah penting adalah benteng jiwa kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap mempertahankan pertahanan. 


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.